Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi 5 Februari 2024 - SDN 16 Salama
Latar belakang & Kronologi Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi
Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi adalah salah satu kejadian penting bagi sejarah Indonesia. Pemberontakan ‘Kapal Tujuh Provinsi’ merupakan pemberontakan anti kolonial pertama yang dilakukan oleh prajurit laut Indonesia. Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi diperingati setiap tanggal 5 Februari. Sejarah peristiwa Kapal Tujuh Provinsi terjadi tanggal 5 Februari 1933 dini hari di pantai lepas Sumatera ketika Indonesia masih diduduki oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Terjadi “pemberontakan” atau perlawanan dari awak kapal perang “De Zeven Provincien” milik pemerintah kolonial. Aksi perlawanan di atas bahtera dalam pelayaran menuju Surabaya dengan upaya pengambil-alihan kemudi itu terjadi karena diturunkannya upah para awak kapal sebesar 17 persen. Terdapat latar belakang mengapa peristiwa tersebut terjadi hingga menjadi sorotan dalam sejarah Indonesia. “De Zeven Provincien” digambarkan sebagai kapal perang terbesar milik Pemerintah Hindia Belanda. Bahtera ini difungsikan sebagai tempat karantina sejumlah marinir, baik dari bangsa Eropa, Belanda, juga bumiputera atau pribumi alias orang Indonesia. Dalam Rondom de Muiterij op De Zeven Provincien (1934), J.C. Mollema menerangkan bahwa kapal tempur tersebut juga digunakan sebagai tempat pelatihan para marinir pribumi yang telah selesai studinya di Pendidikan Dasar Pelaut Bumiputera (Kweekschool voor Inlandse Schepelingen), Makassar. Menurut J.C.H Blom dan Touwen Bouwsma dalam De Zeven Provincien: Ketika Kelasi Indonesia Berontak 1933 (2015), di kapal tersebut terdapat beberapa orang Indonesia, yakni Paradja, Rumambi, Gosal, dan Kawilarang. Mereka bisa disebut sebagai para tokoh utama yang memprakarsai terjadinya peristiwa Kapal Tujuh Provinsi.
Latar Belakang De Zeven Provincien
Kehidupan ekonomi dunia mulai menyusut pada 1930-an. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang mengalami defisit, atas usulan Gubernur Jenderal de Jonge mengeluarkan informasi pengurangan gaji marinir. Baru saja memasuki 1932, mereka yang bekerja di kapal diturunkan upahnya sebesar 10 persen. Gaji yang tidak seimbang antara pegawai Belanda dan pribumi tetap dikenakan pengurangan yang sama persenannya. Masih di tahun yang sama, pemotongan gaji kembali dilakukan sebesar 7 persen. Dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan (1984) terbitan Departemen Sosial RI, diterangkan bahwa jumlah pemangkasan gaji menjadi 17 persen dengan pengurangan sebelumnya. Perencanaan pemotongan upah tidak berhenti di situ. Ketika pemangkasan ketiga mulai dimunculkan, banyak pihak yang menolak, termasuk Komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, J.F. Osten. Pemerintah Hindia Belanda tiba-tiba mengeluarkan pernyataan dalam keputusan Koninlijk Besluit No.51. Isinya adalah pemangkasan gaji yang resmi akan dilakukan pada 1 Februari 1933. Para marinir baru mengetahui kabar pemotongan ini pada 26 Januari 1933. Pemotongannya sebesar 17 persen bagi awak kapal dari kalangan bumiputera dan 14 persen bagi orang Belanda. Di sebuah bioskop, para awak kapal berdiskusi mengenai kabar buruk tersebut. Pada 28 Januari 1933, perbincangan tersebut berlangsung memanas mengingat terjadinya penangkapan 425 anak kapal di Surabaya.